Jumat, 11 November 2011

CERPEN: KASIAN DEH GUE

Jantungku sedetik berhenti ketika melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, yang tak sengaja aku lirik saat mengambil majalah favoritku. Sedetik kemudian, aku ingat wajah  dan senyum itu. Ya. Aku tidak mungkin lupa dengan wajah itu. Wajah yang selalu membayangi hari-hariku dulu.
“ Garlan?” spontan saja nama itu keluar dari bibirku. Aku sedikit tak percaya dengan apa yang dilihat mataku. Aku kembali meliriknya untuk memastikan kalau mataku memang tidak bermasalah. Laki-laki berkaos hitam itu terlihat asyik melihat komik-komik yang berjejer rapi. Aku memejamkan mataku sejenak dan menarik nafas dalam-dalam.
-- Tenanglah Ami, kalaupun dia itu nyata, itu bukan masalah. Karena dia itu hanya masa lalu dan masa depan lo itu Riki. Kalaupun lo ketemu dia disini, ini pasti cuma kebetulan yang pastinya nggak bakal berlanjut. Cukup sampai disini.--
            Suara hatiku tiba-tiba saja berucap yang membuat perasaanku lebih lega. Aku mengangguk lalu meliriknya lagi.
            Bye bye Garlan...” ucapku setengah berbisik sambil mengambil majalah favoritku dan beranjak menuju kasir.
***

            “ Tujuh belas ribu, Mbak...” suara kasir itu membuyarkan lamunanku. Aku segera merogoh tasku dan mencari dompetku yang mungkin terselip diantara make up milik Caca, sahabatku yang doyan berhias.
            “ Astaga, dompet gue mana sih? Aduuh...” aku jadi panik sendiri saat melihat antrian dibelakang semakin ramai.
            “ Nih, pake duit gue aja dulu...” kata seseorang yang begitu baik hati dari belakangku. Orang itu lalu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet kulitnya yang merk terkenal.
            Aku segera keluar dari kasir sambil mengambil belanjaanku. Laki-laki itu mengikutiku dari belakang. Aku masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Dan laki-laki yang wajahnya selalu menemani hari-hariku dulu sekarang ada dihadapanku dengan senyum tersimpul diwajahnya.
            thank’s ya... Gue janji gue pasti balikin duit lo...” ucapku tanpa menghilangkan rasa terima kasihku. Aku sedikit menunduk karena malu.
            “ Nggak usah segitunya kali.. Santai aja. Gue Garlan, loe?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
            -- Gue udah tau sejak 6 tahun yang lalu, Garlan...—ucapku dalam hati.
            “ Panggil aja Ami.” Ucapku singkat saking gugupnya. Sekujur tubuhku terasa gemetaran dan  wajahku terasa panas. Dan nggak butuh olahraga, keringatpun bercucuran disana-sini.
            “ Oke deh. Salam kenal, Ami. Kalo gitu, gue duluan ya!” ucapnya pamit sambil melemparkan senyuman mautnya yang membuatku hampir mati berdiri.
            “ Tunggu, tunggu!” Yang aku tau mulutku sudah  mencegahnya pergi sebelum aku sadar. Kacau.
            “ Kenapa?” Dia berbalik dan menghampiriku.
            Otakku langsung bereaksi mencari alasan apa yang cocok untuk membuatku tidak terlihat konyol dihadapannya.
            “ Gue hutang budi ama lo, dan gue nggak bisa tenang kalau gue belum balikin duit lo dan balas budi lo. Jadi gue... gue minta nomer hape lo donk... boleh kan?” aku sedikit terbata-bata. Alasan yang terkesan memaksa sekali.
            “ Gue kan udah bilang, santai aja. Tapi kalo elonya ngerasa kayak gitu ya... itu terserah lo aja. Nomer gue...” dia menungguku mengeluarkan hapeku.
            Aku kembali merogoh tasku dan mencari hapeku. Aku lalu teringat sesuatu. Spontan saja, aku menepuk dahiku.
            “ Astaga, hape gue kan dibawa Caca.” Aku meliriknya dengan malu-malu.
            Garlan lalu mengambil hapenya dan memberikannya padaku.
            “ Nih, catet nomor lo disini. Ntar gue misscall...” ucapnya memberi solusi.
***

            “ APAAA???” pekik Caca tepat disamping telingaku. Aku segera menutup telingaku menghidari suaranya yang mirip kaleng rombeng itu.
            “ Garlan kecengan kita waktu SMP itu kan? Lo yakin?” Caca pasti sedang berpikir kalau aku sedang berkhayal. Karena informasi terakhir yang kami tau, dia sedang kuliah di Bandung. 
            “ Iya, gue yakin. Kali ini gue yakin gue nggak ngayal.” Kataku meyakinkan Caca. Caca diam sesaat dan berpikir.
            “ Trus, ngapain dia disini? Liburan?” tanya Caca sambil menduga-duga.
            Aku mengangkat bahu. “ Maybe yes,  Tapi yang jelas rumah dia kan disini. Sebenernya gue sama sekali nggak ngerti kenapa gue harus ketemu dia saat gue berusaha keras buat ngelupain dia. Dan parahnya lagi, gue ketemu dia saat gue udah punya Riki...”
            “ Tapi bukannya lo udah berhasil ngelupain dia? Jadi kenapa harus bingung? Lo udah punya Riki dan dia mungkin juga udah punya someone.. So what?” Caca mengerutkan keningnya.
            Aku menggeleng pelan. “ Jujur, gue belum bisa ngelupain dia sepenuhnya. Dan jujur, gue masih sedikit penasaran sama dia, Ca... Gue nggak pengen bohongin diri gue sendiri...”
            “ Kalau gitu, kenapa nggak lo coba?!”
***
           
            Aku sudah melirik jam tanganku hampir sepuluh kali. Sebenarnya, aku memang sedikit ragu untuk menjalankan ide gila Caca, tapi saat Garlan bilang “ Iya” untuk menemaniku makan malam perasaan itu hilang. Dan kini, perasaan ragu itu datang lagi. Kali ini aku sadar, aku sudah bermain api dan kapanpun api itu bisa membakarku. Tapi aku sudah tidak punya pilihan, aku tidak ingin selalu penasaran pada Garlan. Aku ingin sekali menghilangkan perasaan itu. Riki, aku benar-benar minta maaf.
            “ Hai... udah lama ya?” sapa Garlan yang menggunakan kemeja hitam garis-garis. Dia terlihat ganteng sekali.
            Aku membalas sapaannya dengan senyum. “ Nggak kok.” Ucapku datar.
            Suasana hening seketika, tak ada dari kami berdua yang ingin memulai pembicaraan. Kali ini, aku harus jujur padanya tentang perasaanku dari dulu padanya.
            “ Ada apa?  muka lo keliatan serius banget. Kalau cuma mau balas  budi kan lo nggak perlu seserius ini...” Tidak hanya aku, ternyata dia juga merasa tidak nyaman dengan suasana yang kami ciptakan.
             gue mau ngomong sesuatu ama lo...” Aku menatap matanya sekilas lalu menghindari tatapan matanya dan mengarahkan pandanganku ke tempat lain. Mataku tiba-tiba menangkap wajah seseorang yang tidak asing lagi bagiku. Riki. Aku lalu kembali memutar pandanganku ke tempat itu. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku pikir ini hanya khayalanku saja. Mungkin karena aku merasa bersalah pada Riki. Tapi aku sudah tidak ingin mundur.
            Aku menarik nafas dalam-dalam. “ Dari dulu, gue udah suka sama lo...” badanku mulai panas.
            Garlan tak bisa menutupi rasa kagetnya. Aku paham hal itu. Mana ada orang yang nggak kaget saat seseorang menyatakan perasaaan suka padanya padahal dia baru ketemu dua kali. Mungkin saat ini dia sedang menganggapku sebagai orang sinting.
            “ Lo becanda ya?” ekspresi setengah tak percaya. Dia memandangku dalam.
            Aku menggeleng pelan. “ Mungkin sekarang lo nganggep gue sinting, gila, stres atau apalah. Tapi yang jelas, gue Cuma pengen lo tau kalau gue udah suka sama lo dari SMP. Lo mungkin nggak tau gue, tapi gue sangat-sangat tau lo.  Selama hampir 6 tahun gue suka sama lo. Gue sendiri nggak tau kenapa gue nggak bisa ngelupain lo. Padahal kita hampir 4 tahun udah nggak ketemu. Saat gue nyoba buat ngelupain lo, gue selalu aja dapat pertanda-pertanda yang ngebuat gue inget lagi ama lo. Aneh? Mungkin itu yang lo rasain sekarang. Lo mungkin berpikir gue adalah cewek yang nggak tau malu. Tapi itu terserah lo.  Yang jelas gue cuma pengen ngungkapin perasaan gue aja. Maaf sebelumnya, karena udah buat lo bingung.” Aku mengambil tasku dan ingin segera beranjak pergi. Badanku terasa gemetar. Tapi perasaanku kini sudah lega. Paling tidak aku sudah jujur padanya.
            Ekspresi kaget itu masih terpampang jelas di wajah Garlan. Dia tak berkata apapun padaku.
            Thanks udah dengerin semua perasaan gue sama lo. Haaah... sekarang gue udah benar-benar lega. Sekali lagi, thanks ya, Garlan...” aku membalikkan badanku dan segera pergi dari restauran itu.
***
            Saat ini aku udah bisa tersenyum lega. Akhirnya, aku sudah bisa mengungkapkan perasaanku pada Garlan. Walau hanya beberapa menit dan tanpa jawabannya. Tapi hal ini sudah membuatku senang.
            Drrt! Drrt!
Terdengar suara getar yang berasal dari hapeku. Aku melihat nama yang tertera di LCD hapeku. Riki.
            Halo, sayang…” sapaku manis pada pacarku itu.
            Dia tidak langsung menjawab. Seperti ada yang ingin dia katakana, tapi sangat sulit. Tidak biasanya Riki seperti ini.
            “Riki?” Aku jadi mencemaskannya.
            “Kita udahan aja…” mendengar itu, aku seperti tersambar petir, aku tidak percaya dengan apa yang telingaku dengar.
            “Maksud kamu apa, yang? Kenapa kita udahan? Kamu selingkuh ya? Atau kamu udah nggak sayang aku lagi…”
            “Kamu yang nggak sayang sama aku lagi. Aku denger semuanya tadi waktu kamu sama Garlan. Itu perasaan kamu yang sebenernya kan?” aku tergagap, jadi yang aku lihat itu beneran Riki.
            “Tapi, ki.. aku bisa jelasin. Ini nggak kayak yang kamu kira…”
            “itu udah ngejelasin semuanya, kita putus aja, mungkin ini yang terbaik…” Riki langsung mematikan ponselnya.
            Perlahan, air mataku mulai menetes, Hatiku sakit ketika Riki bilang ingin berpisah,  aku menyesali semua kebodohanku. Harusnya aku tidak senekat itu, harusnya aku sadar aku sudah punya Riki, harusnya aku tidak bermain-main dengan perasaan orang. KASIAN DEH GUE! HUFT...wkwk...
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentar ya, buat penyemangat! pujian, kritik, kripik, duit saya terima semuanya... Suka-suka kamu deh... :D