Senin, 23 November 2009

Sikap Masyarakat Terhadap ODHA, Sebuah Refleksi Terhadap Humaniora.

Sikap Masyarakat Terhadap ODHA, Sebuah Refleksi Terhadap Humaniora.

Oleh: Mita Pertiwi

Dewasa ini kasus HIV/AIDS semakin mengkhawatirkan saja. Di Bali sendiri perkembangan jumlah penderita HIV/AIDS bagai deret hitung. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Bali, setiap tahun kasus HIV/AIDS di Bali terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 ditemukan sekitar 1.782 kasus HIV di seluruh Bali. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 1.253 kasus. Pasien HIV yang datang ke VCT RS Sanglah juga selalu mengalami peningkatan setiap tahun (Anonim). Bahkan dari seluruh kasus yang dilaporkan lebih dari 80% berasal dari kaum muda. Sebagian dari kelompok usia ini ada di lembaga-lembaga pendidikan, tetapi ada juga di dunia kerja (Depkes).
Pendiskriminasian yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS ) merupakan cerminan makin menipisnya rasa kemanusiaan yang dimiliki masyarakat kita. Hal ini sangat bertentangan dengan humaniora yakni salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang diciptakan atau diperhatikan manusia (dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam). Yang memiliki tujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti lebih berbudaya. Untuk itu diperlukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif dan pendiskriminasian terhadap ODHA.
Menurut Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Penderita HIV/ AIDS diasingkan dari akses terhadap layanan dan fasilitas-fasilitas publik bahkan dibatasi kesempatannya bekerja karena perusahaan-perusahaan tidak menerima karyawan yang menderita HIV. Diskriminasi terhadap penderita HIV AIDS juga dituntun oleh mitos. Orang enggan berdekatan dengan penderita HIV/AIDS karena menyangka bisa tertular oleh keringat atau hembusan nafasnya. Mereka disingkirkan dari masyarakat yang percaya bahwa HIV/AIDS adalah buah dari kehancuran moral dan penderitanya adalah ancaman terhadap “kemurnian” akhlak atau moralitas. Masyarakat yang tidak tahu dengan jelas cara-cara penularan HIV secara sepihak merampas hak-hak pribadi yang dimiliki oleh individu, hak untuk mendapat pekerjaan bahkan hak untuk dapat hidup dengan layak.
Menurut salah satu konselor, pernah ada kasus seorang Ibu rumah tangga yang mengidap HIV dilarang oleh masyarakat untuk ikut mebanjaran. Kemudian ada lagi kasus seorang pengidap HIV yang menumpang makan di rumah pamannya, pamannya meminta agar piring yang digunakan untuk makan segera di buang karena takut tertular HIV. Tindakan ini memberikan beban psikologis pada ODHA.
Sebenarnya tidak ada seorangpun yang mau terkena penyakit HIV. Mereka pada umumnya terkena penyakit ini lantaran tidak tahu pada awalnya karena ketidaksengajaan. Kasus ini membuktikan sosialisasi mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan penanggulangan dan penanganan HIV/AIDS belum sepenuhnya berhasil. Sosialisasi yang selama ini dilakukan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. ODHA masih dianggap sampah masyarakat yang harus disingkirkan dan diasingkan dari kehidupan sebuah komunitas. Dalam suasana kesalahpahaman, ketakutan dan bahkan kebencian, orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS harus menjalani sisa hidupnya dengan hak-hak yang dirampas.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM. Stigma dan diskriminasi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologis berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai masalah, bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi pandemi ini.
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA disebabkan karena kurangnya informasi yang benar tentang cara penularan HIV, adanya ketakutan terhadap HIV/AIDS, dan fakta AIDS sebagai penyakit mematikan.
Hingga saat ini sikap dan pandangan masyarakat terhadap ODHA sangat buruk sehingga melahirkan permasalahan serta tindakan yang melukai fisik maupun mental bagi ODHA bahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Sesungguhnya hak ODHA sama seperti manusia lain, tetapi karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat, hak ODHA sering dilanggar. Menurut hasil penelitian dokumentasi pelanggaran HAM Yayasan Spiritia, 30% responden menyatakan pernah mengalami berbagai diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan dalam keluarga.
Hak asasi manusia itu di antaranya adalah memiliki dan mendapatkan privasi, kemerdekaan, keamanan serta kebebasan berpindah, bebas dari kekejaman, penghinaan (tindakan menurunkan martabat atau pengucilan), bekerja (termasuk terbukanya kesempatan yang sama), mendapatkan pendidikan serta menjalin mitra jaringan, keamanan sosial dan pelayanan, kesetaraan perlindungan dalam hukum, menikah dan berkeluarga, endapatkan perawatan, dan masih banyak lagi.
Jadi, sebagai anggota masyarakat yang sudah mendapatkan edukasi tentang penyebab HIV dan cara-cara penularannya, kita harus perlahan dan kontinu mengintervensi masyarakat untuk mengubah persepsi dan perilaku terhadap ODHA. Persepsi seseorang berkaitan dengan komponen sikap yang ia miliki. Komponen sikap ini adalah aspek kognitif( pengetahuan), aspek afektif( penilaian subjektif terhadap objek sikap), aspek konatif( tindakan seseorang terhadap objek sikap). Untuk dapat mengubah perilaku seseorang, pertama yang kita lakukan adalah mengubah keyakinan seseorang terhadap suatu objek. Kalau dulu banyak orang berpendapat bahwa penderita HIV perlu dijauhi, maka sekarang harus diubah yaitu agar orang-orang berkeyakinan bahwa yang perlu dijauhi adalah penyakit HIV bukannya orang yang mengidap.
Menyadari begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi ODHA, maka sudah saatnya pemerintah lebih berperan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS terutama di daerah-daerah. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk membuat suatu Peraturan Daerah (Perda) yang bertujuan menghapus tindakan diskriminasi terhadap ODHA. Kemudian, jajaran eksekutif dan legislatif harus bersikap tegas dalam mendukung berbagai program penanggulangan HIV/AIDS termasuk program Harm Reduction dan ATM Kondom. Kedua program tersebut bertujuan untuk memutus mata rantai penularan HIV/AIDS dan melindungi keluarga.
HIV/AIDS tidak dapat ditanggulangi secara berkelompok. Penanggulangan HIV/AIDS akan dapat dilaksanakan dengan baik jika pemerintah, lembaga legislatif, penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan masyarakat dapat bekerja sama menghapus stigmatisasi dan diskriminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentar ya, buat penyemangat! pujian, kritik, kripik, duit saya terima semuanya... Suka-suka kamu deh... :D