Sabtu, 17 Desember 2011

Menilik Kemiskinan lewat Cerpen Putu Wijaya

"Ini adalah contoh essay yang sudah pernah dilombakan dan mendapat juara harapan II di balai bahasa denpasar"
 Sastra adalah semua bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya Pada dasarnya karya sastra penuh dengan imajinasi pengarangnya namun tidak berarti apa yang diungkapkan pengarang mengada-ada. Banyak pernyataan yang diungkapkan oleh pengarang berdasarkan pada fakta. Seperti sebuah cerpen yang ditulis Putu Wijaya, yang berjudul Kemiskinan”.
 Berbicara soal kemiskinan mungkin tidak akan ada habisnya, karena masalah kemiskinan memang sejak dulu tidak pernah ada penyelesaiannya. Buktinya, sampai sekarang masalah kemiskinan masih belum juga terselesaikan di negeri ini. Kemiskinan adalah sebuah penyakit sosial yang lazim dialami oleh setiap negara yang melaksanakan program pembangunannya. Pemahaman tentang kemiskinan sendiri sering diartikulasikan dalam beberapa pengertian dan ukuran kemiskinanpun juga beraneka ragam meskipun telah sering diulas. Namun, satu hal yang jelas esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan pendapatan.
Putu Wijaya, pengarang yang sudah biasa menteror mental pembaca, dalam cerpennya ini, menyampaikan pendapat sebagian masyarakat tentang bagaimana seharusnya menotok dengan telak kemiskinan di negeri ini. Melalui tokoh-tokoh dalam cerpen “Kemiskinan” Putu Wijaya memberikan sebuah gambaran pada kita, bagaimana pandangan sebagian masyarakat dalam menuntaskan kemiskinan di negeri ini. Misalnya pada tokoh  guru dalam cerpennya ini,  berikut kutipannya.
Naikkan gaji guru-guru. Kalau sudah naik, dengan sendirinya, kita akan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Kalau sudah mendapat pendidikan yang baik tak akan mungkin nanti generasi kita malas-malasan, sehingga hidupnya pasti akan terjamin. Juga tidak akan mungkin mereka berhati rakus, sehingga kalau mereka kaya, mereka akan berbagi rezeki dengan sesamanya. Kemiskinan ini kan salah pendidikan? Karena nasib guru tidak pernah digubris!
Pemikiran yang diungkapkan oleh Putu Wijaya tidaklah begitu rumit. Pendidikan yang tidak berjalan dengan baik menjadi jalan menuju kemiskinan. Karena kemiskinan dekat dengan kebodohan. Jika nasib guru dan pendidikan kita diubah, mungkin angka kemiskinan akan mengecil.
Lain lagi dengan pendapat Putu Wijaya melalui tokoh seorang pedagang beras yang warungnya baru saja digusur untuk pelebaran jalan dalam cerpen ini.
Belum tentu gaji guru dinaikkan, mentalnya akan baik. Belum naik, baru ada kabar-kabur, 9 kebutuhan pokok sudah lebih dulu ke langit. Tetap saja nanti kelakuan guru nol. Sepuluh kali dinaikkan ya pasti begitu-begitu juga. Tak usah naikkan gaji, kalau perlu kurangi gaji mereka. Itu kan uang rakyat, kok dihambur-hamburkan terus. Kalau mau memerangi kemiskinan, itu lho, terus terang saja, penggantian kerugian kalau ada penggusuran harus sekian kali lipat. Jangan habis kena gusur orang jadi bangkrut. Namanya juga kena gusur kan’sedih, setiap orang yang kena gusur dikasih imbalan rumah di bilangan Pondok Indah begitu, nggak bakalan ada ramai-ramai, malah saya berani bertaruh semua orang nanti ngantre minta digusur. Sepuluh kali digusur juga mau, asal itu menguntungkan. Lha sekarang ini, kalau digusur kita orang kecil langsung bangkrut, ya saya menentang dong! Begitu pak mestinya, kok enak saja!
Pemikiran Putu Wijaya yang diceritakan kali ini berbeda dengan yang tadi. Kali ini beliau menyampaikan jika gaji guru dinaikkan namun harga 9 bahan pokok semakin tinggi, itu semua juga akan percuma. Penggusuran yang semakin sering terjadi juga dapat memiskinkan seseorang.
Berbeda lagi dengan pendapat Putu Wijaya melalui tokoh guru dan tokoh pedagang beras yang warungnya baru saja digusur pelebaran jalan. Kali ini adalah pendapat beliau melalui tokoh tukang tempe.
Saya kira semua itu betul. Cuma kalau dipraktekkan sering sekali jadi ngawur. Saya tidak tahu kenapa, habis saya ini tiap hari kerjanya cuma bikin tempe. Ya saya termasuk orang miskin. Miskin itu biasa. Sudah umum. Miskin itu mudah-mudah susah. Sebab miskin hartanya belum tentu miskin hatinya. Bukan begitu Pak Haji? Berlimpah hartanya belum tentu berlimpah hatinya senang, bukan begitu Pak RT? Ya, memang begitu!
Putu Wijaya melalui tokoh tukang tempe dalam cerpen ini menyampaikan pendapat yang sama sekali berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, ia tidak hanya menilai kemiskinan dari materi saja namun juga kemiskinan moral, hal ini terlihat dari pendapat Putu Wijaya yang menyatakan seseorang yang miskin harta belum tentu miskin hatinya dan sesesorang yang berlimpah harta belum tentu berlimpah kebahagiaannya. Pendapat yang beliau kemukakan membuka pikiran kita bahwa bukan hanya kemiskinan harta yang menjadi masalah negeri ini, tetapi juga kemiskinan hati yang terlihat dari maraknya kasus korupsi yang pada akhirnya memiskinkan rakyat juga.
Perkara sulit dari kemiskinan ini tidak akan pernah dapat dituntaskan jika tidak terdapat kemauan, usaha dan kerjasama berbagai pihak. Melalui karakter tukang tempe lagi Putu Wijaya menggambarkannya seperti ini.
Nah karena itu saya anggap miskin itu perkara sulit, saya kira kita serahkan saja pada negara. Apa gunanya perkara sulit kita pikul sendiri kalau kita punya pemimpin. Biarlah mereka membimbing kita nanti, itu ‘kan urusan mereka-mereka itu di DPR. Di PBB, di KTT, dimana lagi itu saya kurang tahu. Pokoknya kita percaya dah, biar mereka bekerja dengan tenang. Kita bekerja saja dirumah masing-masing. Saya bikin tempe, Pak Arifin mengajar, ibu itu jual beras.
 Lewat kalimat-kalimat tersebut Putu Wijaya ingin menumbuhkan pikiran bahwa kemiskinan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata namun juga merupakan tanggung jawab semua pihak. Dalam penanganannya dibutuhkan kerjasama yang dimulai dari lingkup terkecil misalkan saja pekerjaan seperti guru yang mengajar dengan baik, pedagang yang tetap menjual dagangan dengan semestinya, dan produsen yang tetap membuat produknya karena setiap orang telah memiliki perannya masing-masing dalam mengatasi kemiskinan di negeri ini.
Marilah kita kutip lagi apa kata Putu Wijaya, pada akhir cerpen “Kemiskinan.”   “Ternyata kemiskinan memang tidak bisa dibicarakan, juga tidak bisa diperangi, kemiskinan hanya perlu dikasih makan.” Melalui  cerpen ini secara tidak langsung Putu Wijaya mangajak kita untuk membuka mata kalau kemiskinan bukanlah masalah yang hanya bisa dibicarakan, melainkan juga bisa diperangi. Semua masyarakat pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda dalam upaya mengentaskan kemiskinan namun keinginan rakyat sebenarnya tidak muluk-muluk, yang paling penting bagi mereka adalah bisa makan untuk kelangsungan hidup mereka ke depan.
SEMOGA BERMANFAAT

3 komentar:

  1. hm... cukup menarik, dan bikin dahi mengernyit...

    BalasHapus
  2. Haha...bikin dahi mengernyit ya...
    Tapi ketangkep kn mksud dri tulisannya...

    BalasHapus
  3. pekerjaan kecil dilakukan dengan jiwa yang besar. kalo semua pekerja seperti itu mudah2an gak ada orang miskin harta dan miskin hati

    BalasHapus

Jangan lupa komentar ya, buat penyemangat! pujian, kritik, kripik, duit saya terima semuanya... Suka-suka kamu deh... :D