Jumat, 25 November 2011

Memudarnya Nilai Tat Twam Asi Memicu Maraknya Tindak Kekerasan di Pulau Bali


Masyarakat indonesia dikenal sebagai masayarakat yang toleran. Masyarakat bali sebagai masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang mendasari hidupnya dengan filsafat tat twam asi (Dia adalah aku). Lalu kenapa akhir-akhir ini pulau ini kerap diwarnai dengan kekerasan?
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjujung tinggi rasa kebersamaan dan toleransi  antar sesama. Dengan keanekaragaman suku dan agama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, masyarakatnya mampu hidup dengan rukun. Namun akhir-akhir ini, sepertinya rasa kebersamaaan tersebut mulai memudar. Hal ini terjadi hampir pada setiap daerah di Indonesia, termasuk pulau Bali. Masyarakat Bali dikenal dengan citra positifnya karena kehidupannya yang berpegang teguh pada nilai yang ada dalam filsafat tat twam asi yakni, “Dia adalah aku” dimana memiliki makna kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri.  Namun saat ini, banyak tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat Bali. Hal ini bisa dilihat dari berita-berita yang ada dalam media cetak maupun media elektronik. Hampir setiap hari ada saja tindak kekerasan yang terjadi. Banyak faktor yang melatarbelakanginya dan banyak macam kekerasan yang terjadi dimulai dari motif ekonomi, politik, perselisihan adat, dendam pribadi, dan lain-lain. Namun, faktor yang paling sering memicu terjadi kekerasan adalah faktor ekonomi.
1)      Kemiskinan dan kekerasan
World Social Summit di Mumbai beberapa waktu lalu pun disebut-sebut meyakini adanya kaitan yang erat sekali antara kemiskinan dan kekerasan.  Beberapa studi empiris memang telah memberikan indikasi bahwa ada benarnya kondisi sosial dan  ekonomi yang buruk dan terasa tidak adil merupakan salah satu sebab dari terjadinya konflik kekerasan. Lantas, pertumbuhan ekonomi pun dinilai penting agar masyarakat mampu mengelola konflik yang muncul.  Pada situasi dimana kesejahteraan relatif memadai dan stabil,  kekerasan mungkin lebih minimal. Pendapat seperti ini kerap dikaitkan dengan kenyataan banyak negara-negara miskin, di Afrika khususnya, yang bertahun-tahun tenggelam dalam perang antar suku, sementara hal serupa tidak terjadi di  negara-negara kaya.  
Kekerasan merupakan fenomena yang kompleks, dan oleh karena itu tidak bisa dilihat dari kacamata tunggal semata. Dengan tetap mengingat hal ini, kiranya menarik untuk menyimak faktor-faktor ekonomi apa saja yang dapat ikut menjadi penyebab terjadinya  kekerasan.  Dari beberapa ahli,  beberapa faktor ekonomi yang  diyakini erat kaitannya dengan kemiskinan adalah sebagai berikut:
a. Pertama adalah parahnya kesenjangan antara pendapatan dan kesejahteraan antara yang kaya dan miskin.  Dalam kenyataannya, memang masih banyak penduduk hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan boleh jadi ada yang disebabkan oleh kemalasan. Namun, dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah kemiskinan sebagai akibat  perilaku jahat dari kelompok yang kaya. Banyak  yang bekerja keras dan bertindak jujur, namun toh tidak juga lepas dari kemiskinan ketika di dalam hubungan-hubungan antar pelaku ekonomi tersebut terjadi tindak-tindak eksploitatif. Kekecewaan yang berlarut-larut ini bukan tidak mungkin akhirnya memunculkan keinginan untuk melakukan tindakan balasan dimana kekerasan mungkin menjadi cara yang dipilih. Namun, terdapat catatan di sini, yaitu bahwa yang memilih jalan ini pun sebetulnya hanya sebagian kecil dari mereka yang tertindas. Ada kekhawatiran pula bahwa bagian inilah yang mudah diagitasi dan dibentuk untuk menjadi pelaku kekerasan dan kekacauan oleh pihak-pihak lain yang justru mungkin datang dari kelompok yang makmur dengan menyembunyikan  motivasi atau kepentingan mereka yang sesungguhnya. 
b. Faktor lain adalah  tingginya tingkat  pengangguran, khususnya di kalangan muda di daerah perkotaan. Persoalan ini amat terasa ketika situasi ekonomi mengalami kemerosotan. Setiap tahun begitu banyak kaum muda yang masuk ke pasar tenaga kerja. Namun oleh karena terbatasnya lapangan kerja maka banyak yang menjadi pengangguran. Sebagian mungkin ada yang kemudian memilih untuk masuk ke sektor informal, menjadi pekerja mandiri kendati tetap menyimpan keinginan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Kaum muda  yang pendidikannya tidak cukup baik, mungkin tidak perlu berpikir lama untuk mengambil keputusan masuk ke sektor informal. Namun, kaum muda yang terdidik mungkin memilih untuk tetap mencoba ke sector formal. Di sinilah mereka tersadar betapa amat kecil peluang mereka untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Tentu, hal ini diperparah pula dengan seringnya nepotisme, koneksi, korupsi menjadi penentu pengalokasian pekerjaan dan makin meningkatkan kekecewaan mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya, namun tidak punya koneksi atau uang untuk memperoleh pekerjaan. Menumpuknya kekecewaan ini  bisa saja kemudian berbuah pada pilihan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang ektrim dan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk meluapkan kekecewaan mereka.
c. Faktor lain yang juga dapat memperkuat pengaruh hal-hal di atas  adalah situasi lingkungan, khususnya di perkotaan, yang kacau berikut tidak memadainya akses pelayanan-pelayanan publik yang penting sementara kota itu sendiri terus berkembang dan bertambah penduduknya. Dalam hal ini tentu pemerintahan yang tidak berfungsi baik dalam melayani publik dan penuh tindak korupsi harus ditempatkan sebagai pendorong terjadinya kekerasan oleh karena kepercayaan publik pun menjadi amat minim terhadap pemerintah dan institusi-insitusi lainnya sehingga tidak aneh sering terjadi praktik main hakim sendiri. Orang kemudian lebih nyaman untuk melakukan sendiri proses penghakiman terhadap pelaku kejahatan misalnya, ketimbang menyerahkannya kepada institusi hukum yang ada.
Bila demikian halnya, kiranya menyesatkan jika disebutkan bahwa yang gemar melakukan kekerasan adalah mereka yang miskin dan kurang terdidik. Lagi pula, untuk melakukan kekerasan dengan dampak yang luas dan menakutkan, membutuhkan kemampuan baik itu kekuasaan maupun uang yang justru tidak dimiliki oleh mereka yang miskin dan terbelakang.
Hal ini mencerminkan semakin lunturnya nilai-nilai moral yang ada pada masyarakat kita. Lunturnya nilai-nilai moral tersebut dikarenakan kurangnya rasa kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersamaan dan rasa toleransi dimana keadaan masyarakat saat ini yang cenderung lebih individualistis.  Sehingga ajaran tat twam asi tersebut sangatlah penting untuk diamalkan oleh masyarakat kita, Walaupun tat twam asi adalah ajaran moral yang merupakan ajaran agama hindu namun nilai dari tat twam asi itu dapat kita tempatkan dalam nilai budi pekerti yang patut diamalkan bagi agama apapun. Kekerasan dapat dihindari apabila terjadi rasa cinta kasih terhadap sesama manusia, cinta damai, dan menghargai orang lain sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentar ya, buat penyemangat! pujian, kritik, kripik, duit saya terima semuanya... Suka-suka kamu deh... :D