Jumat, 25 November 2011

RIBUT

          Rumah itu. Rumah megah bercat putih itu seakan penuh dengan emosi. Rumah yang biasanya penuh dengan teriakan itu kini telah berganti dengan kesunyian. Sunyi. Sepi.
          “Papa sudah katakan padamu dari dulu! Kau harus jadi dokter! DOKTER! Mengerti?!”
          ”Tapi pa..” anak laki-laki itu tak sependapat dengan ayahnya yang juga berprofesi sebagai dokter.
          ”Tidak ada tapi-tapi, Bayu. Sudah, ayo pergi ke kamarmu. Lanjutkan belajar. Papa tidak mau kau jadi memalukan seperti ibu dan kakakmu itu.” Laki-laki itu tak memberi kesempatan kepada putera satu-satunya itu untuk mengutarakan pendapatnya. Laki-laki berumur hampir setengah abad itu langsung pergi menuju ruang kerjanya lalu menutup pintunya rapat-rapat.
          ”Menyerah saja. Kau takkan bisa menentang keinginan laki-laki keras kepala itu.” Gadis dengan dandanan menor yang tak lain adalah kakak perempuan Bayu itu memegang pundak adiknya.
          ”Kakak! Lancang sekali kau bicara seperti itu. Bagaimanapun juga dia papa kita! Kau tak sepantasnya mengatakan hal itu.”
          ”Papa katamu? Bagimu mungkin iya, tapi tidak bagiku. Kau tanyakan saja padanya, apa pernah dia menganggapku anak? Aih, sudahlah. Malas bicara denganmu. Bagaimanapun juga kau pasti akan membelanya.” Nesa berjalan sambil melambaikan tangannya menuju pintu keluar.
          ”Kau mau kemana?”
          ”Kemanapun aku pergi itu tak ada hubungannya denganmu...”
          ”Ada apa sih sebenarnya dengan keluarga ini?”
***
          Malam ini lagi. Dokter spesialis penyakit dalam itu menapakkan kakinya di rumah bercat putih itu lagi. Mobil jaguar hitam yang dibawanya menampakkan bagaimana status sosialnya.
          ”Bagaimana? Kau sudah mantap untuk jadi dokter?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar saat makan malam.
          Bayu menggeleng.
          ”Kenapa kau keras kepala sekali?! Papa hanya ingin kau jadi seperti papa. Jadi orang sukses. Kalau kau sukses kau bisa cari perempuan secantik apapun. Kau bahkan tak perlu mencari. Mereka akan datang sendiri padamu. Orang-orang akan menghormatimu. Kau tidak ingin semua itu?”
          ”Sukses tidak harus jadi dokter, pa! Lagipula tanggung jawab sebagai dokter itu tinggi. Nyawa seseorang itu ada di tangan kita.”
          ”Nanti kalau sudah terbiasa, tidak akan ada lagi kata seperti itu.” Papanya tetap bersikukuh.
          ”Tapi pa...”
          ”Sudah, sudah... papa capek. Papa mau istirahat dulu. Besok kau harus buat keputusan.”
***

          Bayu berdiri di depan pintu papanya. Terdengar hening. Papanya tak seperti sedang mengerjakan sesuatu. Bayu ingin mengutarakan keinginannya dari dulu. Kali ini ia ingin papanya itu tau kalau ia tak ingin jadi dokter. Ia ingin papanya tau kalau ia punya cita-cita yang lebih tinggi daripada dokter.
          Perlahan dibukanya pintu berwarna putih itu. Dilihatnya dari celah pintu yang kecil, papanya itu sedang memandangi sebuah foto. Foto dengan bingkai berwarna putih. Foto yang sudah tak pernah dilihat Bayu semenjak orangtuanya bercerai 6 tahun yang lalu.
          ”Pa...” dilihatnya mata laki-laki yang sudah semakin tua itu sedikit berair. Laki-laki itu segera memasukkan foto itu ke laci kerjanya.
          ”Kenapa kau masuk tak ketuk pintu dulu?! Ada apa?” Laki-laki itu bertanya pada anak laki-laki kebanggaannya.
          ”Papa kangen mama ya?”
          ”Apa?”
          ”Papa kangen Mama kan?” Bayu mengulangi kata-katanya.
          ”Kenapa kau tanyakan wanita itu?” Laki-laki itu nampak salah tingkah.
          ”Sudahlah, lupakan saja. Aku sudah tau jawabannya. Aku kemari ingin memberi kejelasan pada papa kalau aku tidak ingin jadi dokter. Aku punya cita-cita lain, Pa. Cita-cita yang lebih tinggi dari dokter.”
          ”Apa? Memangnya apa cita-citamu yang lebih tinggi dari dokter?!”
          ”Presiden. Aku ingin jadi presiden, pa.”
          Papanya tertegun.
          “Tenang, pa. Aku cuma bercanda. Sebenarnya aku ingin jadi seniman.”
          “Apa?! Cita-cita konyol macam apa itu? Kau mau merusak nama baik papa, Bayu?! Seperti kakakmu?!”
          “Pa, aku tidak mau kuliah karena gengsi. Aku ingin punya pekerjaan yang aku inginkan, bukan yang orang lain inginkan. Pa, tolong sekali ini. Aku mohon. Jangan paksa aku untuk jadi dokter. Berikan aku kebebasan untuk memilih apa yang aku inginkan.”
          ”Kau mulai berani membantah papa ya?! Kau itu jadi anak keras kepala sekali?! Darimana kau dapatkan sifat keras kepala itu?! Dari wanita itu, ya memang sudah jelas. Pasti dari wanita munafik itu.”
          ”Pa! Aku tidak pernah tau, aku dapatkan sifat keras kepala ini dari siapa?! Untuk yang satu aku tidak akan mengalah, Pa. Karena ini adalah pilihan hidupku. Aku tak ingin nantinya pekerjaaan yang aku dapatkan tapi aku tak mampu melakukannya dengan baik, akhirnya malah merugikan orang lain.”
          ”Kalau kau tetap bersikukuh untuk tidak menjadi dokter, pergi dari rumah ini! Papa tidak punya anak yang berani menentang perintah papa! ” Laki-laki itu tak menatap anak yang dulunya adalah kebangaannya itu.
          ”Baik. Aku akan pergi jika papa memang menginginkannya.”
          Anak dan Ayah itu kini saling diam. Rumah itu untuk pertama kalinya terasa sepi. Sunyi. Tak ada yang berteriak. Tak ada suara. Dan, tak ada keributan.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa komentar ya, buat penyemangat! pujian, kritik, kripik, duit saya terima semuanya... Suka-suka kamu deh... :D